TEMPO.CO, Berkeley--Bukti evolusi dan migrasi manusia tersimpan di dalam darah manusia penghuni pegunungan. Asam deoksiribonukleat (DNA) mereka beradaptasi terhadap lingkungan miskin oksigen.
Bukti evolusi itu terekam ketika nenek moyang manusia meninggalkan tanah Afrika menuju dunia baru, 70 ribu tahun silam. Setelah meloncati Semenanjung Arab, rombongan penjelajah pertama ini bergerak menyusuri pantai India, melompat ke Indonesia, lalu mendarat di Australia. Perjalanan dari Afrika menuju Australia membutuhkan waktu 20 ribu tahun. Perjalanan menuju tempat lain, seperti Eropa dan Amerika, dilakukan melalui lintasan berbeda.
Sebagian besar penjelajah memilih berbelok dari pantai. Mereka masuk ke tengah daratan, menembus hutan, mendaki tanah terjal, dan sampai di pegunungan. Dataran tinggi Himalaya di Asia, dataran tinggi Andes di Amerika Selatan, dan dataran tinggi Karpatia di Eropa adalah sebagian tempat menetap manusia gunung pertama.
"Orang gunung ini merupakan contoh manusia paling ekstrem yang masih bisa ditemukan," ujar ahli biologi evolusi dari University of California Berkeley, Rasmus Nielsen.
Gunung merupakan dunia yang baru: tekanan udara sangat rendah dan oksigen berkurang. Manusia pertama yang beranjak dari Afrika terbiasa hidup di dataran rendah, tempat oksigen mudah dihirup. Namun, ketika mendaki ke dataran tinggi, di atas 3.000 meter di atas permukaan laut, oksigen menipis hingga 60 persen dari kadar normal. Bahkan berjalan perlahan pun akan cepat menyebabkan kelelahan karena tubuh kekurangan bahan bakar. Hidup di ketinggian seperti menyabung nyawa.
Tekanan lingkungan ini diatasi dengan berbagai cara. Orang gunung mulai memproduksi lebih banyak hemoglobin, zat yang bertugas mengikat oksigen di dalam darah. Jantung dipaksa berdetak lebih cepat, bernapas juga semakin kencang. Penyesuaian tubuh seperti ini mendongkrak kadar oksigen darah, meski tak pernah mencapai kadar normal. "Tetap saja, fungsi tubuh akan terganggu," ujar Nielsen.
Risiko lain muncul dari tubuh sendiri. Hemoglobin ekstra tak baik jika dihasilkan dalam jangka panjang karena zat ini menyebabkan penggumpalan darah. Perempuan yang berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi pun akan kesulitan membagi oksigen dengan bayinya selama kehamilan. Penelitian menunjukkan, bayi dengan berat badan dua kali lebih rendah sering terjadi pada ketinggian 2.000 meter ketimbang di pantai.
Para peneliti mengunjungi masyarakat pegunungan untuk mengetahui adaptasi biologi yang telah dilalui tubuh mereka. Warga Tibet diketahui memiliki pembuluh arteri dan kapiler yang lebih lebar ketimbang manusia lainnya, sementara warga Andes mampu melarutkan lebih banyak oksigen dalam darah.
Adaptasi tubuh untuk bertahan di lingkungan ekstrem cocok dengan prediksi pencetus teori evolusi, Charles Darwin. Namun tak semua manusia gunung melakukan adaptasi tersebut. Orang gunung yang masih bertahan hingga kini merupakan manusia yang bermutasi untuk bertahan pada lingkungan miskin oksigen. Sedangkan orang yang tak menyesuaikan diri akhirnya takluk oleh seleksi alam.
Pada 2010, Nielsen bersama peneliti lain menemukan varian gen unik orang Tibet yang tak ditemukan pada etnis Han di Cina. Orang Tibet yang menetap ribuan tahun di dataran tinggi memiliki gen EPAS1, yang berperan dalam proses adaptasi lingkungan tinggi.
Tahun ini, Nielsen meneruskan penelitian terhadap penduduk pegunungan Etiopia. Ia tak menemukan gen EPAS1 sebagaimana yang lazim didapati di Tibet. Justru ia menemukan gen berbeda, yaitu BHLHE41, yang berperan dalam adaptasi dataran tinggi.
Temuan Nielsen menunjukkan bahwa evolusi memiliki kreativitas tersendiri. Dua gen bisa terbentuk secara terpisah namun untuk tujuan yang sama: bertahan dari tekanan alam.
ANTON WILLIAM | NYTIMES
Terhangat:
Penembakan Tito Kei | Tarif Baru KRL | Kisruh Kartu Jakarta Sehat | PKS Membangkang | Ahmad Fathanah
Baca juga:
27 Juni, BBM Ada di iOS dan Android
Acer Liquid E2, Ponsel Cerdas Berkamera Pintar
Situs Porno Semakin Dilirik Anak-anak
HTC One Dijual Langsung Sabtu Ini