CALIFORNIA - Kejahatan cyber, terutama jika disponsori oleh sebuah negara dengan kepentingan tertentu, diyakini akan memiliki dampak yang luas. Pasalnya, ancaman cyber bukan lagi sekedar mencuri identitas dan rincian kartu kredit.
Menurut mantan Direktur Federal Bureau of Investigation (FBI) Louis Freeh, serangan kejahatan cyber pada infrastruktur penting bisa menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada serangan 9/11. Ia menyoroti fakta bahwa orang-orang harus sadar ancaman cyber lebih dari sekedar pencurian identitas dan kartu kredit.
Karena itu, ia menilai badan intelijen Amerika Serikat (AS) harus belajar untuk lebih menganalisis data dalam jumlah besar yang telah dikumpulkan. Ancaman teroris cyber, kata Freeh, bisa digagalkan jika data internet, telepon, dan keuangan yang dikumpulkan oleh badan intelijen dianalisis secara efisien.
"Anda bisa memanipulasi sistem transportasi, sistem bimbingan penerbangan, sistem keselamatan jalan raya, dan sistem operasi maritim. Anda juga bisa mematikan sistem energi di timur laut AS di tengah musim dingin. Potensi pemusnah massal dalam hidup dan harta hanya dibatasi oleh akses dan keberhasilan penyerang dalam merebut dan membajak jaringan-jaringan tersebut," ungkap Freeh, seperti dilansir dari Softpedia, Selasa (9/7/2013).
Lalu jika terjadi kebocoran data pemerintah, katanya, hal itu karena terlalu banyak orang yang memiliki akses. Kasus terbaru yang bisa menjadi contoh kebocoran data pemerintah ialah whistleblower Edward Snowden yang bisa mengakses dan menyalin dokumen-dokumen rahasia National Security Agency (NSA).
Lebih lanjut, Freeh yang saat ini bekerja sebagai investigator swasta mengatakan bahwa pelaku cyber, terutama yang disponsori oleh sebuah negara, memiliki kemampuan yang luas. Bahkan jika pelaku cyber itu belum pernah melakukan serangan.
"Seperti perang dingin tanpa ada satu pun yang menggunakan bom nuklir, tapi itu bukan berarti tidak ada ancaman disana," pungkasnya.
(adl)